Indonesia dan Australia Bersatu untuk Melindungi Anak-Anak dari Pengaruh Terorisme
Kolaborasi Bersejarah untuk Melindungi Generasi Mendatang
Dalam langkah bersejarah, Indonesia dan Australia bersatu untuk melawan pengaruh terorisme terhadap anak-anak. Aliansi ini dipertegas dalam pertemuan penting pada 7 Juni 2024, antara Komisaris Jenderal Rycko Amelza Dahniel, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Indonesia, dan Komisaris Polisi Federal Australia (AFP), Reece Kershaw. Kerja sama ini mengikuti resolusi yang disahkan pada forum Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (CCPCJ) di Wina, Austria, pada Mei 2024, yang menekankan komitmen bersama untuk menangani tren mengkhawatirkan anak-anak yang terlibat dalam kegiatan teroris.
Tanggung Jawab Bersama
“Indonesia dan Australia memiliki kepedulian yang sama terkait anak-anak yang terlibat dalam terorisme. Oleh karena itu, dukungan dari Polisi Federal Australia (AFP) sangat penting untuk melaksanakan resolusi ini,” ujar Komisaris Jenderal Rycko. Resolusi yang diinisiasi oleh BNPT ini merupakan komponen penting dari strategi yang lebih luas untuk menghapus kekerasan dan melindungi anak-anak dari pengaruh terorisme. Rycko menekankan bahwa upaya global untuk melindungi anak-anak harus menjadi prioritas bersama.
Untuk memperkuat upaya ini, BNPT akan menyelenggarakan pertemuan Kelompok Ahli Antar-Pemerintah (IEG) awal tahun depan, dengan tujuan mengembangkan pedoman komprehensif untuk menangani anak-anak yang terkait dengan terorisme. Inisiatif ini diharapkan menjadi langkah konkret menuju masa depan yang lebih aman bagi generasi muda.
Program Sekolah Damai: Pendekatan Proaktif
Elemen kunci dari strategi BNPT adalah program Sekolah Damai, yang dirancang untuk mencegah penyebaran ideologi radikal di kalangan pemuda. Inisiatif ini telah berhasil dilaksanakan di beberapa pesantren di seluruh Indonesia, termasuk di Palu, Sulawesi Tengah; Serang, Banten; dan Banyuwangi, Jawa Timur.
Irfan Idris, Direktur Pencegahan BNPT, menyoroti pergeseran mengkhawatirkan dalam demografi pelaku terorisme. Semakin banyak perempuan dan anak-anak yang dieksploitasi untuk kegiatan teroris, seperti yang terlihat dalam berbagai insiden seperti pengeboman keluarga di Surabaya, serangan terhadap gereja di Makassar dan Sibolga, serangan Zakiah Aini di Markas Besar Kepolisian Nasional, dan rencana Dita untuk mengebom Istana Kepresidenan.
Pendidikan sebagai Pelindung dari Radikalisme
Irfan Idris menekankan bahwa anak-anak yang terpapar ideologi radikal sering kali menghadapi lanskap informasi yang kompleks dan tidak teratur. Oleh karena itu, peran pendidik sangat penting dalam membimbing siswa untuk menilai informasi yang mereka temui secara kritis.
“Terorisme ada karena radikalisme. Oleh karena itu, kami memprioritaskan pendidikan, karena hanya pendidikan dan agama yang dapat mencegah seseorang mengadopsi keyakinan radikal. Namun, faktor-faktor seperti kekecewaan, masalah ekonomi, dan lainnya juga berperan,” ujar Irfan Idris. Hal ini menyoroti pendekatan multifaset yang diperlukan untuk melawan terorisme, mengintegrasikan pendidikan, stabilitas ekonomi, dan dukungan komunitas.
Melangkah Maju Bersama
Kerja sama antara Indonesia dan Australia menandai langkah penting dalam perang global melawan terorisme, terutama dalam melindungi anak-anak yang rentan dari pengaruh radikal. Ketika kedua negara bekerja sama untuk melaksanakan resolusi CCPCJ dan meningkatkan inisiatif pendidikan, mereka menetapkan preseden untuk kolaborasi internasional dalam upaya kontra-terorisme. Front yang bersatu ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi anak-anak hari ini, tetapi juga untuk membangun fondasi bagi masa depan yang lebih aman dan damai.